Kami tiba di depan pintu rumah
Salma. Kemudian mengetuk pintu. Tak lama kemudian pintu pun terbuka perlahan.
Wajahnya masih terlihat menahan rasa sakit, dengan senyum yang tenang menyambut
kami berlima yang menjenguk ke rumahnya. Dengan kondisinya yang sudah mulai
membaik membuatnya sudah bisa beraktivitas meskipun belum sepenuhnya pulih.
Kakinya masih menggunakan perban sebagai penahan agar sendinya tidak bergeser
lagi.
“Eh kalian, ayo silahkan masuk”
Sapa Salma dengan ramah.
“Iya makasih Sal. Oya ini kami
bawakan buah untukmu, semoga dengan buah dari kami berlima bisa membuatmu
kembali ke sekolah ya.” Kataku.
“Aamiin, terima kasih atas doanya.
Bagaimana kalian bisa tau jika aku sedang sakit? Padahal kemarin aku masih
tidak boleh terlalu banyak bergerak, makanya aku belum sempat memberitahu
kalian”.
“Oh, masalah itu, aku nonton
pertandinganmu saat hari minggu Sal. Aku juga lihat bagaimana lawanmu dengan
sengaja menginjak kakimu sehingga kamu cidera seperti ini.” Dennis menjelaskan,
“Padahal seharusnya kamu bisa menang telak dipertandingan itu Sal.” lanjut
Dennis.
“Yah, mau bagaimana lagi, mungkin
memang aku yang lemah.” kata Salma.
“Tapi kamu gak kenapa-kenapa kan
Sal? Berapa hari sampai kamu benar-benar pulih?” tanya Retha.
“Alhamdulillah, gapapa kok Re,
hanya sendi kakiku bergeser saja. Kata dokter sih besok lusa juga udah boleh masuk
sekolah. Tapi kalo dipikir-pikir aku menang karena lawanku didiskualifikasi,
dan aku tak bisa apa-apa, aku lemah.” Kata Salma menunduk pesimis.
“Jangan ngomong seperti itu Sal,
aku percaya kamu sudah bertanding semaksimal mungkin.” Retha mencoba
menenangkan.
“Tapi memang begitu Re, aku tidak
bisa apa-apa, mendapatkan emas karna menang didiskualifikasi? Apa yang harus
dibanggakan?”
Salma pun menangis karna menyesali
apa yang terjadi padanya. Salma hebat dalam bertanding, memiliki sabuk merah
membuat banyak laki-laki yang tak mau mencari masalah dengannya. Tapi hanya
satu kekurangan dia. Mentalnya lemah. Dia belum siap mengalami kekalahan, dia masih
suka menyalahkan dirinya sendiri yang padahal itu bukan sepenuhnya
kesalahannya.
“Udahlah Sal, gak boleh kaya gini,
kamu udah punya kemampuan yang bagus, tinggal mental kamu yang belum kuat.
Namanya pertandingan pasti ada yang menang dan ada juga yang kalah, itu hal
biasa. Apalagi pertandingan beladiri, cidera juga biasa.” kata Eca yang
sama-sama mengikuti beladiri.
“Iya, yang penting kamu udah
ngeluarin kemampuan kamu semaksimal mungkin, berpikirlah positif, gak ada
untungnya juga berpikir dari sudut pandang yang negatif, bikin cape sendiri.”
Dennis ikut memberi support, dan kami berempat pun memegang pundak Salma
diikuti dengan Retha.
“Terima kasih untuk kalian semua,
aku akan berusaha lebih keras lagi.” Salma termotivasi dengan dukungan kami dan
dia pun memperlihatkan senyumnya.
"Itulah gunanya teman
Sal", Saut Yuki.
Kami menbicarakan hal-hal yang
seru, untuk meringankan beban pikiran Salma atas cidera yang dialaminya. Mulai
dari cerita-cerita kecil sampai kejadian di sekolah selama Salma tidak masuk.
Tak lupa juga menceritakan apa yang terjadi diperjalanan menuju rumahnya.
Setelah satu jam kami dirumah
Salma, kami pun bergegas pulang karena tidak mau mengganggu terlalu lama waktu
istirahatnya.
“Ham gimana videonya? Direkam
kan?” tanya Eca bersemangat.
“Oh iya, ini Ca, ngomong-ngomong
buat apa direkam?” tanyaku kebingungan.
“Bukan buat apa-apa kok. Cuma
sekedar bahan evaluasi latihan aja, lagian bentar lagi ada kejuaraan juga nih,
semoga aku lulus seleksi.” Eca senang dan memunculkan tawa kecilnya.
“Jadi tadi itu sekalian latihan?”
kataku.
“Iyalah Ham, hahaha.” Eca sangat
puas setelah melihat video tersebut.
No comments:
Post a Comment