Monday, October 13, 2014

Kontraksi

Sebenernya gue bingung mau nulis cerita apa hari ini. Oke, sebelumnya gue mau memperkenalkan diri dulu nih. Nama gue Altan Dennis biasa dipanggil Dennis atau Den atau terserahlah. Lahir di atas kasur kota bogor pada tanggal 3 Januari 1994 dan katanya sih bidan yang ngurusin persalinan ibu gue namanya Uun, gak tau deh kenapa namanya Uun, kenapa gak sekalian aja Oon. Oya, gue sempet selek sama yang namanya bidan Uun ini, tapi karena kejadian itu gue mendapatkan pelajaran yang berharga.

Jadi ceritanya begini. Gue lagi naik angkot mau berangkat kuliah. Pagi buta sekitar jam 5 pagi gue emang udah berangkat dari rumah. Saat itu jalanan masih sepi banget dan langit biru gelap masih menemami suasana pagi itu. Beberapa orang mengenakan kemeja dengan bawahan celana bahan yang terlihat rapih pun sudah mejadi kebiasaan sehari-hari gue sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, jadi sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Angkot yang gue naikin terus berjalan, meter demi meter pun ditempuh. Sampai akhirnya di tepi jalan tepat di depan klinik bidan Uun ada seorang wanita yang nyetopin angkot yang gue tumpangin dengan rasa waswas yang terlihat di raut wajahnya. Panggil saja wanita itu Ibu Mawar.

"Pak, bisa minta tolong gak? adik saya lagi kontraksi, mobilnya bisa ke RS Ciawi gak pak?" kata Ibu Mawar yang kekhawatirannya semakin terlihat.

"Oh, bisa bu" kata supir angkot.

Tak perlu waktu lama, supir pun langsung memarkirakan mobil birunya ke halaman klinik. Tak lama kemudian dari pintu klinik keluar seorang laki-laki dan istrinya yang sedang hamil dan mengerang kesakitan karena kontraksi yang dialaminya. Wanita hamil ini kita sebut saja Melati. Kami yang berada di dalam angkot pun ikut membantu menggotong Melati karena, dia tidak mampu lagi untuk berjalan. Gue sempat perhatikan wajah Melati dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dan tidak terbayangkan sekakit apa seorang calon ibu yang sedang hamil awal bulan ke-9 dan mengalami kontraksi.

Kami cukup kesulitan untuk menaikan Melati ke dalam mobil. Karena sedikit saja terjadi gerakan yang salah wanita itu langsung berteriak kesakitan. Ketika kami sedang sibuk berusaha mencari posisi yang nyaman untuk Melati, gue sempet ngeliat ke arah dalam klinik. Seorang wanita lumayan tinggi, berkulit putih dan rambut sebahu, mengenakan baju piyama berwarna merah dan bercorak bunga-bungan kecil berwarna kuning dengan santainya melihat ke arah kami yang sedang kesulitan, tetapi ia terus saja berjalan sambil membawa secangkir gelas yang mungkin berisikan teh. Tidak salah lagi itu bidan Uun.

Gue merasa kesal saat itu sampai ingin menegur si bidan Uun. “Masa dia gak bisa menangani si pasien?”, kurang lebih seperti itulah pikiran gue. Melati pun segera dimasukkan ke dalam angkot tersebut, entah bagaimanapun posisi Melati kami pun langsung berangkat menuju RS Ciawi.

“Bu, kenapa bidannya? Kok gak nanganin pasiennya?” tanya pak supir.

“Katanya sih gak bisa nanganinnya, terus langsung disuruh ke RS Ciawi aja, lagian saya liat juga pas datang bidannya masih baru bangun tidur.” Mawar menjawab sedikit kesal.

“Ini bisa jadi memang sudah sangat parah bu kondisinya, dan seorang bidan memang tidak boleh menangani kasus separah ini” kata salah satu penumpang wanita.

“Emang mba dari mana?” tanya sang ibu.
Saya dokter di salah satu rumah sakit Bogor” kata wanita itu.

Ternyata seorang wanita berkerudung mengenakan sweater hitam itu adalah seorang dokter. WAW.

Benar saja, kekesalan gue terhadap kelakuan bidan Uun semakin bertambah. Pasalnya Melati sedang mengalami kesakitan yang luar biasa tetapi bidan itu hanya diam dan bersantai di kliniknya. Kekhawatiran dari raut wajah si bidan pun tidak terlihat sama sekali. Bidan Uun itu perempuan, memangnya dia tidak bisa merasakan sesakit apa yang Melati rasakan? Gue aja sebagai laki-laki perihatin ngeliatnya. Tapi setelah gue mencari informasi lebih lanjut ke temen gue yang juga seorang bidan, ternyata seorang bidan itu tidak boleh menangani kasus patologis (tidak normal). Kalau ada ibu-ibu hamil dengan perut sakit yang berlebihan, kemungkinan ada indikasi keadaan patologis. Seandainya ada bidan yg coba-coba nanganin sendiri di kliniknya (tidak merujuk ke rs) yang ada justru dia bisa dituntut.

Jadi yasudahlah, kesal pun cuma buang tenaga gue, toh apa yang bidan Uun lakuin udah sesuai prosedur. Jadi gue positive thinking aja, mungkin memang bidan itu tidak mau mengambil resiko besar untuk merawat si pasien.
Perjalanan ke RS Ciawi cukup jauh dan keadaan yang sangat mendesak dan jalanan yang sedikit macet serta permukaan jalan yang tidak begitu rata sehingga membuat beberapa gerakan yang membuat perut Melati semakin terasa sakit.

"Ibu...ibu..tolong aku ibu" teriak Melati kesakitan.

"Iya sayang, istigfar...istigfar" sang suami berusaha menenangkan Melati.

Sepanjang jalan Melati hanya bisa berteriak kesakitan dan suaminya tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain terus menerus berdoa dan mencoba menenangkan sang istri. Mungkin jika bisa berbagi rasa sakit, sang suami ingin merasakan rasa sakitnya juga agar sakit yang dialami Melati bisa berkurang. Karena terlalu sakit Melati sempat pingsan beberapa kali karena sanking histerisnya ia menangis dan sudah merasa lelah.

Melihat kejadian yang ada di depan mata gue saat itu, gue pun semakin tersadar, seberapa besar pengorbanan orang tua terhadap anaknya dan seberapa haruskah si anak berbakti kepada orang tuanya.

Melihat Melati berteriak karena kontraksi dan suaminya yang selalu setia mendampingi dalam keadaan apapun. Bayangkan saja jika perjuangan orang tua kita seperti itu, apakah kita akan melawan dan tidak patuh terhadap mereka? atau bagaimana jika itu terjadi pada kalian dan pasangan kalian masing-masing suatu hari nanti? apakah kalian ingin anak-anak kalian jauh dari harapan kalian? Hanya kalian sendiri yang bisa mencari jawabannya.

Sang istri pun masih mengerang kesakitan, sampai tibanya kami di perempatan Ciawi, saat itu hanya ada supir, kakak si calon ibu, suami, calon ibu, gue, dokter dan dua penumpang lain.

"De, kalo mau turun disini, gapapa, gak usah dibayar" kata supir angkot kepada saya dan penumpang lain.

“Saya ikut pak” kata wanita dokter

"Gak pak, saya ikut aja ke RS Ciawinya" kata gue penuh yakin, sementara dua penumpang lainnya turun, mungkin mengejar waktu kerja.

Tinggal gue, supir, sang suami, istri, kakak wanita itu, dan dokter yang ikut mengantar ke RS Ciawi. Entah kenapa gue yakin buat ikut, tapi yang jelas gue pengen nolongin orang.
Sesampainnya di RS Ciawi Melati masih berteriak kesakitan, mungkin seperti orang yang menghadapi sakaratul maut. Tak terbayangkan rasa sakit yang ia alami. Gue bergegas turun dan segera mengambil kasur dorong yang tersedia dekat pintu RS. Setelah Melati sudah di atas kasur dorong, gue, dokter dan sang suami pun masuk ke dalam RS Ciawi. Saat itu pula di depan pintu dalam RS sudah ada seorang perawat yang siap untuk membawa Melati itu ke ruangan.

"Biar saya yang bawa, dan hanya keluarganya yang boleh masuk" kata perawat itu.

Gue dan dokter wanita itu pun merasa senang karena wanita itu sudah bisa ditangani. Kami pun langsung kembali ke angkot dan gue langsung menuju stasiun Bogor karena harus berangkat ke kampus. Dan doa gue waktu itu "semoga dosennya telat juga".
Share:

No comments:

Post a Comment